Jumat, 15 Agustus 2014

Al-Habib Abdurrahman bin Abdullah Alhabsyi - Cikini (ayah Al-Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi - Kwitang)




Bisamillahirrohmanirrohim...
Assalamualaikum, kali ini ane mau share biografi dari Al Habib Abdurrahamn Bin Abdullah Alhabsyi(Cikini) Beliau adalah ayahanda dari Al Habib Ali Bin Abdurrahman Alhabsyi (Kwitang)

"Habib Cikini" (Habib Abdurrahman bin Abdullah Al Habsyi) lahir dari keluarga Al Habsyi pada cabang keluarga Al Hadi bin Ahmad Shahib Syi'ib. Ia generasi pertama dari garis keturunan keluarga yang terlahir di Nusantara atau generasi kedua yang telah menetap di negeri ini. Nasab lengkapnya ad
 alah Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad Shahib Syi'ib bin Muhammad Al Ashghar bin Alwi bin Abubakar Al Habsyi.

Sebuah sumber tulisan menyebutkan bahwa kakeknya yang bernama Habib Muhammad bin Husein Alhabsyi adalah yang pertama kali datang dari Hadhramaut dan menetap di Pontianak dan kemudian menikah dengan seorang putri dari keluarga Kesultanan Pontianak. Itu artinya, Habib Cikini adalah generasi kedua yang terlahir di Nusantara atau generasi ketiga yang menetap disini.
Tulisan lainnya menyebutkan bahwa Habib Muhammad,kakeknya, ikut mendirikan Kesultanan Hasyimiyah Pontianak bersama keluarga Al Qadri.

Dalam catatan pada kitab rujukan "Nasab Alawiyyin" susunan Habib Ali bin Ja'far Assegaf ditulsikan, berdasarkan keterangan Habib Ali Kwitang yang mendapat informasi dari Habib Alwi (tinggal di Surabaya, sepupu dua kali Habib Ali Kwitang) bin Abdul Qadir bin Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyi, disebutkan, Habib Muhammad bin Husein wafat di Tarbeh, Hadhramaut. Kitab Habib Ali bin Ja'far juga menuliskan dengan jelas bahwa Habib Abdullah (Ayah Habib Cikini) adalah seorang kelahiran Hadhramut, tepatnya di Tarbeh. Berdasarkan berbagai keterangan diatas, jelaslah "Habib Cikini" adalah generasi pertama dari garis keturunan keluarganya yang dilahirkan di Nusantara.

Silsilah Habib Abdurrahman bin Abdullah Alhabsyi (Cikini) :
AL HABIB ABDURRAHMAN bin ABDULLAH bin MUHAMMAD bin HUSEIN bin ABDURRAHMAN bin HUSEIN bin ABDURRAHMAN bin HADI bin AHMAD ALHABSYI bin ALI bin AHMAD bin MUHAMMAD ASSADULLAH bin HASAN AT-TURABI bin ALI bin MUHAMMAD AL-FAQIH AL-MUQADDAM bin ALI bin MUHAMMAD SHAHIB MIRBATH bin ALI KHALA QASAM bin ALWI bin MUHAMMAD bin ALWI bin UBAIDILLAH bin AHMAD AL-MUHAJIR bin ISA bin MUHAMMAD AN-NAQIB bin ALI AL-URAIDHI bin JA'FAR ASH-SHODIQ bin MUHAMMAD AL-BAQIR bin ALI ZAINAL ABIDIN bin HUSEIN bin ALI BIN ABI THALIB suami FATIMAH AZ-ZAHRA binti RASULULLAH SAW.

Habib Cikini "Putra Semarang"
Selain pernah menetap di Pontianak, Habib Abdullah bin Muhammad Al Habsyi, (ayah Habib Cikini) yang semasa hidupnya memiliki aktivitas berdagang antar pulau, juga pernah menetap di Semarang. Namun dari sebuah tulisan menyatakan bahwa ia menikah pertama kali di Semarang.

Sebuah naskah juga menyebutkan, Ibu "Habib Cikini" adalah seorang syarifah dari keluarga Assegaf di Semarang. Dan memang, "Habib Cikini" sendiri diketahui sebagai putra kelahiran Semarang. Ini berkaitan dengan catatan lainnya yang menyebutkan, "Ia wafat di Laut Kayong (daerah Sukadana, Kalimantan) pada 1249 H, atau bertepatan dengan tahun 1833 M".
Keterangan yang disebutkan terakhir tampaknya lebih mendekati kebenaran, sebab wilayah Sukadana berseberangan langsung dengan kota Semarang di Pulau Jawa, dan Kota Semarang merupakan kota kelahiran "Habib Cikini". Hal ini juga selaras dengan keterangan bahwa Habib Abdullah wafat saat berlayar dari Pontianak ke Semarang. Pada Catatan itu juga disebutkan, ia wafat saat berperang dengan "lanun", sebutan orang Pontianak terhadap para perompak laut.

Bersama Habib Syech dan Raden Saleh.
Diantara sejarah kehidupan "Habib Cikini" yang didapat dari sejumlah sumber adalah bahwa ia sahabat karib Habib Syech bin Ahmad Bafaqih (Botoputih-Surabaya).
Hal tersebut diantaranya dicatat dalam catatan kaki Ustadz Dhiya' Shahab dalam bukunya "Syams azh Zhahirah".
Begitu pula menurut penulis Belanda bernama L.W.C Van Den Berg dalam buku "Le Hadhramout Et Les Colonies Arabes" yang menyebutkan bahwa Habib Syech pernah menetap di Batavia selama kurang lebih 10 tahun. Selama menetap di Batavia itulah tampaknya persahabatan di antara Habib Syech dengan Raden Saleh terjalin erat.

Dikisahkan, setelah lama tak mendapatkan putra, istri Habib Abdurrahman, Nyai Salmah, seorang wanita asli Betawi yang tinggal di Mester Cornelis (sekarang Jatinegara), suatu malam bermimpi. Dalam mimpi tersebut, Nyai Salmah menggali sumur.Tiba-tiba dari dalam sumur itu keluarlah air yang melimpah ke sekelilingnya.

Mimpi itu kemudian disampaikannya kepada suaminya.Habib Abdurrahman, dan beliau segera menemui Habib Syech untuk menanyakan perihal mimpi tersebut.
Habib Syech menjelaskan bahwa mimpi itu merupakan isyarat bahwa pasangan Habib Abdurrahman dan Nyai Salmah akan mendapatkan seorang putra yang shalih dan ilmunya melimpah ruah penuh keberkahannya.
Tidak seberapa lama, Nyai Salmah pun mengandung.
Pada hari Ahad 20 Jumadil Ula 1286 H atau bertepatan dengan 20 April 1870 M, terlahirlah seorang putra yang kemudian ia beri nama "Ali".

Semua orang menyaksikan kebenaran ucapan Habib Syech.
Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi yang terlahir dari pasangan shalih dan shalihah itu, dikemudian hari menjadi seorang shalih dan ulama yang banyak menebar manfaat dan kemaslahatan bagi umat di masa hidupnya, bahkan setelah wafatnya.

Di samping Habib Ali, "Habib Cikini" juga mempunyai putra lainnya yang bernama, Habib Abdul Qadir.
Lewat putranya inilah "Habib Cikini" menjalin pertalian kekeluargaan dengan "Habib Utsman bin Yahya" (Mufti Betawi), melalui pernikahan Habib Abdul Qadir dengan salah seorang putri Mufti Betawi ini. Dari kedua putranya itu, hanya dari Habib Ali nasab keturunannya berlanjut, karena Habib Abdul Qadir hanya memiliki tiga orang anak perempuan tanpa anak lelaki sama sekali.

Anak lelaki pertama Habib Ali adalah Habib Abdurrahman, dan yang bungsu bernama Habib Muhammad. Sementara diantara dua anak lelaki itu, lahirlah lima anaknya yang perempuan yang masing-masing bernama :
Syarifah Rogayah, Syarifah Khodijah, Syarifah Mahani, Syarifah Zahra dan Syarifah Sa'diyah yang juga mengikuti jejak ayahnya untuk menggelar Majlis Ta'lim "Assa'diyah" untuk kaum perempuan di Kwitang.
Setelah Syarifah Sa'diyah wafat saat menunaikan ibadah haji dan dimakamkan di di tanah suci, pengelolaan majlis ta'limnya dilanjutkan oleh Syarifah Salma binti Abdurrahman Al Habsyi, cucu perempuan Habib Ali Kwitang, anak dari Habib Abdurrahman.

Tahun 1296 H bertepatan dengan 1879 M, Habib Cikini wafat. Saat itu, Habib Ali masih amat belia, belum mencapai usia 11 tahun. Sebelum wafat, beliau sempat berwasiat kepada istrinya, agar Habib Ali disekolahkan ke Hadhramaut dan Makkah. Wasiat tersebut betul-betul dilaksanakan isterinya dengan sepenuh hati dan keyakinan akan adanya kebaikan di balik itu semua.

Karena "Habib Cikini" tidak meninggalkan warisan yang memadai,maka demi mewujudkan pesan almarhum suaminya,Nyai Salmah, yang bukan tergolong orang berada, kemudian menjual gelang yang dimilikinya, untuk biaya perjalanan Habib Ali ke Hadhramaut.
Sementara itu,Habib Syech Bafaqih sahabat karib Habib Abdurrahman,wafat pada 1883 H.Beliau dimakamkan di Botoputih, Surabaya, yang hingga saat ini terus didatangi para peziarah dari berbagai daerah.

Selain dengan Habib Syech, "Habib Cikini" juga bersahabat akrab dengan Raden Saleh, seorang pelukis termasyhur yang nama lengkapnya adalah Sayyid Syarief Boestomi Raden Saleh bin Husein bin Yahya. Sebetulnya kedekatannya dengan pelukis tersebut bukanlah hal yang aneh. Disamping sama-sama kelahiran Semarang, sebelum hijrah ke Batavia, Habib Cikini sempat menikah dengan Syarifah Rogayah binti Husein bin Yahya, adik Raden Saleh.

Pelukis yang lama menetap di Eropah ini, dilahirkan pada 23 April 1811 M dan wafat pada tahun 1880 H, setahun setelah wafatnya "Habib Cikini".
Beliau dimakamkan di daerah Desa Bondongan, Bogor, Jawa Barat.

Mengawal Aqidah Ummat
Sebagaimana disebutkan, Habib Cikini menjalin hubungan kekeluargaan dengan Raden Saleh dengan menjadi iparnya. Namun dari pernikahannya dengan Syarifah Rogayah bin Yahya, yang adik perempuan Raden Saleh,beliau tak beroleh keturunan sama sekali.

Di tanah pekarangan rumah Raden Saleh yang berada didaerah Cikini inilah, Jasad mulia wali Allah Habib Abdurrahman bin Abdullah Al Habsyi dikebumikan.

Diantara murid-murid beliau adalah : Habib Ahmad bin Alwi Al Haddad (Habib Kuncung – Kalibata – Jakarta), dan masih banyak lagi yg lainnya

Al Habib Ali Bin Abdurrahman Al Habsyi (Habib Ali Kwitang)

Bismillahirrohmanirrohim...
Assalamualaikum Sohibul Khoir, kali ini ane mau posting Biografi Al Habib Ali Bin Abdurrahman Al Habsyi (Habib Ali Kwitang)
Semoga Bermanfaat
Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi adalah putera dari Habib Abdurrahman Al-Habsyi. Ayah beliau tinggal di Jakarta. Ibunda beliau yaitu Nyai Salmah berasal dari Jatinegara, Jakarta Timur. Dalam perkawinannya dengan Al-Habib Abdurrahman Al-Habsyi lama sekali tidak memperoleh seorang putera pun. Pada suatu ketika Nyai Salmah bermimpi menggali sumur dan sumur tersebut airnya melimpah-limpah hingga membanjiri sekelilingnya. Lalu diceritakanlah mimpinya itu kepada suaminya.
Mendengar mimpi istrinya, Al-Habib Abdurrahman segera menemui Al-Habib Syeikh bin Ahmad Bafaqih untuk menceritakan dan menanyakan perihal mimpi istrinya tersebut. Lalu Al-Habib Syeikh menerangkan tentang perihal mimpi tersebut bahwa Nyai Salmah istri Al-Habib Abdurrahman akan mendapatkan seorang putra yang saleh dan ilmunya akan melimpah-limpah keberkatannya.
Apa yang dikemukakan oleh Al-Habib Syeikh itu tidak berapa lama menjadi kenyataan. Nyai Salmah mengandung dan pada hari Minggu tanggal 20 Jumadil ‘Awal 1286 bertepatan tanggal 20 April 1870 lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Ali bin Abdurrahman Alhabsyi.
Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi tidak lama hidup mendampingi putra yang beliau cintai tersebut. Beliau berpulang ke Rahmatulloh ketika putra beliau masih berumur 10 tahun. Tetapi sebelum beliau wafat, beliau sempat menyampaikan suatu wasiat kepada istrinya agar putra beliau hendaknya dikirim ke Hadramaut dan Makkah untuk belajar ilmu agama Islam di tempat-tempat tersebut.
Untuk memenuhi wasiat suaminya, Nyai Salmah menjual gelang satu-satunya perhiasan yang dimilikinya untuk biaya perjalanan Habib Ali Alhabsyi ke Hadramaut dan Makkah. Karena di waktu wafatnya Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi tidak meninggalkan harta benda apapun. Dalam usia 10 tahun berangkatlah Al-Habib Ali Alhabsyi dari Jakarta menuju Hadramaut, dengan bekal sekedar ongkos tiket kapal laut sampai di tempat yang dituju.
Sesampainya di Hadramaut, Al-Habib Ali sebagai seorang anak yang sholeh, tidak mensia-siakan masa mudanya yang berharga itu untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, sambil mencari rizki yang halal untuk bekal hidup beliau selama menuntut ilmu di tempat yang jauh dari ibunya. Sebab beliau menyadari bahwa ibunya tidak mampu untuk mengirimkan uang kepada beliau selama menuntut ilmu di luar negeri tersebut.
Diantara pekerjaan beliau selama di Hadramaut dalam mencari rizki yang halal untuk bekal menuntut ilmu ialah mengambil upah menggembala kambing. Pekerjaan menggembala kambing ini rupanya telah menjadi kebiasaan kebanyakan para sholihin, terutama para Anbiya’. begitulah hikmah Ilahi dalam mendidik orang-orang besar yang akan diberikan tugas memimpin umat ini.
Diantara guru-guru beliau yang banyak memberikan pelajaran dan mendidik beliau selama di Hadramaut antara lain :
Al-’Arif billah Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi (Shohibul maulid di Seiwun)
Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-’Attos (Huraidha)
Al-Habib Al-Allammah Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (Mufti Hadramaut)
Al-Habib Ahmad bin Hasan Alaydrus (Bor)
Al-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor (Guwairah)
Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi (Ghurfah)
Al-Habib Muhammad bin Sholeh bin Abdullah Alatas (Wadi Amed)
As-Syeikh Hasan bin Mukhandan (Bor)
Setelah belajar di Hadramaut, beliau melanjutkan pelajaran di tanah suci Makkah, dibawah didikan ulama-ulama besar disana, diantaranya :
Mufti Makkah Al-Imam Muhammad bin Husin Alhabsyi
Sayid Bakri Syaththa’
As-Syeikh Muhammad Said Babsail
As-Syeikh Umar Hamdan
Berkat doa ibu dan ayah beliau, juga berkat doa para datuk-datuk beliau, terutama datuk beliau Rasullulloh SAW, dalam masa 6,5 tahun belajar di luar negeri Al-Habib Ali telah memperoleh ilmu Islam yang murni, luas dan mendalam yang dibawanya kembali ke Indonesia.
Meskipun demikian, beliau adalah seorang yang tidak sombong atas ilmunya. Beliau tidak menganggap bahwa ilmu yang dimilikinya sudah cukup. Beliau masih dan selalu mengambil manfaat dari para alim ulama yang ada di Indonesia saat itu. Beliau mengambil ilmu dari mereka. Diantara para guru beliau yang ada di Indonesia adalah :
Al-Habib Muhammad bin Thohir Alhaddad (Tegal)
Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya)
Al-Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Empang, Bogor)
Al-Habib Husin bin Muhsin Asy-Syami Alatas (Jakarta)
Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (Bondowoso)
Al-Habib Ahmad bin Muhsin Alhaddar (Bangil)
Al-Habib Abdullah bin Ali Alhaddad (Bangil)
Al-Habib Abdullah bin Usman Bin Yahya (Mufti Jakarta)
Selain menuntut ilmu, beliau juga aktif dalam mengembangkan dakwah Islamiyyah, mengajak umat Islam untuk mengikuti ajaran-ajaran Islam yang suci dengan dasar cinta kepada Alloh dan Rasul-Nya SAW.
Selain di pengajian tetap di majlis ta’lim Kwitang yang diadakan setiap hari Minggu pagi sejak kurang lebih 70 tahun yang lalu hingga sekarang dengan kunjungan umat Islam yang berpuluh-puluh ribu, beliau juga aktif menjalankan dakwah di lain-lain tempat di seluruh Indonesia. Bahkan hingga ke desa-desa yang terpencil di lereng-lereng gunung. Selain itu Al-Habib Ali Alhabsyi juga berdakwah ke Singapura, Malaysia, India, Pakistan, Srilangka dan Mesir. Beliau juga sempat mendirikan sebuah madrasah yang bernama Unwanul Ulum. Beliau banyak juga mendirikan langgar dan musholla, yang kemudian diperbesar menjadi masjid. Selain itu beliau juga sempat menulis beberapa kitab, diantaranya Al-Azhar Al-Wardiyyah fi As-Shuurah An-Nabawiyyah dan Ad-Durar fi As-Shalawat ala Khair Al-Bariyyah.
Beliau selain ahli dalam menyampaikan dakwah ilalloh, beliau juga terkenal dengan akhlaknya yang tinggi, baik terhadap kawan maupun terhadap orang yang tidak suka kepadanya. Semuanya dihadapinya dengan ramah-tamah dan sopan santun yang tinggi. Terlebih lagi khidmat beliau terhadap ibunya adalah sangat luar biasa. Dalam melakukan rasa bakti kepada ibunya sedemikian ikhlas dan tawadhu’nya, sehingga tidak pernah beliau membantah perintah ibunya. Biarpun beliau sedang berada di tempat yang jauh, misalnya sewaktu beliau sedang berdakwah di Surabaya ataupun di Singapura, bila beliau menerima telegram panggilan dari ibunya, segera beliau pulang secepat-cepatnya ke Jakarta untuk memenuhi panggilan ibunya tersebut.
Maka tidak heran apabila ilmu beliau sangat berkat, dan dakwah beliau dimana-mana mendapat sambutan yang menggembirakan. Setiap orang yang jumpa dengan beliau, apalagi sampai mendengarkan pidatonya, pastilah akan tertarik. Terutama di saat beliau mentalqinkan dzikir atau membaca sholawat dengan suara mengharukan, disertai tetesan air mata, maka segenap yang hadir turut meneteskan air mata. Dan yang demikian itu tidak mungkin jika tidak dikarenakan keluar dari suatu hati yang ikhlas, hati yang disinari oleh nur iman dan nur mahabbah kepada Alloh dan Rasul-Nya SAW.
Akhirnya sampailah waktu dimana beliau memenuhi panggilan Allah. Beliau berpulang ke haribaan Allah pada hari Minggu tanggal 20 Rajab 1388 bertepatan dengan 13 Oktober 1968, di tempat kediaman beliau di Kwitang Jakarta, dalam usia 102 tahun menurut Hijriyah atau usia 98 tahun menurut perhitungan Masehi. Ungkapan duka cita mengiringi kepergian beliau. Masyarakat berbondong-bondong hadir mengikuti prosesi pemakaman beliau…dalam suasana sendu dan syahdu. Seorang ulama besar telah berpulang, namun jasa-jasa dan ahklak mulia beliau masih tetap terkenang…menembus batasan ruang dan zaman.
Radhiyallahu anhu wa ardhah…
Sumber: Dari Berbagai Media Dakwah

Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Shohibul Shimthu’d-duror)



Assalamualaikum, dalam kesempatan kali ini ane akan berbagi kepada antum semua tentang manaqib Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Shohibul Shimthu’d-duror)
semoga Bermanffat 
Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Shohibul Shimthu’d-duror, Beliau adalah seorang ulama penyusun Simtudduror , yang mana isi kitab tersebut berupa manaqib tentang rosululloh SAW. Simtudduror selalu di baca oleh para jamaah majlis-majlis taklim dan pada peringatan maulid nabi SAW.
Beliau dilahirkan di Hadramaut, tepatnya di qosam pada hari jumat 24 syawal 1259H.Beliau dibesarkan di bawah asuhan dan pengawasan kedua orang tuanya; ayahandanya, Al-Imam Al-Arif Billah Muhammad bin Husin bin Abdullah Al-Habsyi dan ibundanya; As-Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang solihah yang amat bijaksana. Bagaimanakah masa kecil beliau dan dakwahnya kemudian? Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zahir dan batin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu.
Oleh karenanya, sejak itu, beliau diizinkan oleh para guru dan pendidiknya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian- pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali, dia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk kepimpinan tiap majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan- pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.
Selanjutnya, beliau melaksanakan tugas-tugas suci yang dipercayakan padanya dengan sebaik-baiknya. Menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu, di samping membangkitkan semangat mereka dalam mengejar cita-cita yang tinggi dan mulia. Untuk menampung mereka, dibangunnya Masjid “Riyadh” di kota Seiwun (Hadhramaut), pondok- pondok dan asrama-asrama yang diperlengkapi dengan berbagai sarana untuk memenuhi keperluan mereka, termasuk soal makan-minum, sehingga mereka dapat belajar dengan tenang dan tenteram, bebas dari segala pikiran yang mengganggu, khususnya yang bersangkutan dengan keperluan hidup sehari-hari.
Bimbingan dan asuhan beliau seperti ini telah memberinya hasil kepuasan yang tak terhingga dengan menyaksikan banyak sekali di antara murid-muridnya yang berhasil mencapai apa yang dicitakannya, kemudian meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan sahaja di daerah Hadhramaut, tetapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya – di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.
Al habib ali al habsyi
Di tempat-tempat itu, mereka mendirikan pusat-pusat dakwah dan penyiaran agama, mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani di kalangan masyarakat setempat. Pertemuan- pertemuan keagamaan diadakan pada berbagai kesempatan.
Lembaga- lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu didirikan di banyak tempat, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan dalam ruang lingkup yang luas sekali. Beliau meninggal dunia di kota Seiwun, Hadhramaut, pada hari Ahad 20 Rabi’ul Akhir 1333 H dan meninggalkan beberapa orang putera yang telah memperoleh pendidikan sebaik-baiknya dari beliau sendiri, yang meneruskan cita-cita beliau dalam berdakwah dan menyiarkan agama.
Di antara putera-putera beliau yang dikenal di Indonesia ialah puteranya yang bongsu; Al-Habib Alwi bin Ali Al- Habsyi, pendiri Masjid “Riyadh” di kota Solo (Surakarta). Dia dikenal sebagai peribadi yang amat luhur budi pekertinya, lemah-lembut, sopan- santun, serta ramah-tamah terhadap siapa pun terutama kaum yang lemah, fakir miskin, yatim piatu dan sebagainya. Rumah kediamannya selalu terbuka bagi para tamu dari berbagai golongan dan tidak pernah sepi dari pengajian dan pertemuan- pertemuan keagamaan. Beliau meninggal dunia di kota Palembang pada tanggal 20 Rabi’ul Awal 1373 H dan dimakamkan di kota Surakarta.
Banyak sekali ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang telah dicatat dan dibukukan, di samping tulisan-tulisannya yang berupa pesan-pesan ataupun surat-menyurat dengan para ulama di masa hidupnya, juga dengan keluarga dan sanak kerabat, kawan-kawan serta murid- murid beliau, yang semuanya itu merupakan perbendaharaan ilmu dan hikmah yang tiada habisnya.
Dan di antara karangan beliau yang sangat terkenal dan dibaca pada berbagai kesempatan di mana-mana, termasuk di kota-kota di Indonesia, ialah risalah kecil ini yang berisi kisah Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dan diberinya judul “Simtud Duror Fi Akhbar Maulid Khairil Basyar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Aushaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama; Akhlak, Sifat dan Riwayat Hidupnya).
Konon menurut cerita diwajah beliau tepatnya dibawah mata ada garis hitam, garis hitam tersebut adalah bekas linangan air mata yang selalu mengalir saat di mengenang dan mengingat baginda rosululloh SAW, karena rasa sangat cintanya kepada Rosululloh SAW beliau menyusun kitab Simtudduror dengan air mata darah…kerinduan yang begitu memuncak…YA alloh jadikan hamba- hambamu pecinta Rosululloh ..agar bisa memperoleh syafaat dari Rosululloh SAW..Amin

Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Sa’id Al Bushiri (Imam Bushiri) Sohibul Burdah



Qasidah Burdah adalah salah satu karya paling populer dalam khazanah sastra Islam. Isinya, sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad SAW, pesan moral, nilai-nilai spiritual, dan semangat perjuangan, hingga kini masih sering dibacakan di sebagian pesantren salaf dan pada peringatan Maulid Nabi. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Persia, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pastum, Melayu, Sindi, Inggris, Prancis, Jerman dan Italia.

Pengarang Kasidah Burdah ialah Al-Bushiri (610-695H/ 1213-1296 M). Nama lengkapnya, Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Sa'id al-Bushiri. Dia keturunan Berber yang lahir di Dallas, Maroko dan dibesarkan di Bushir, Mesir, Dia seorang murid Sufi besar, Imam as-Syadzili dan penerusnya yang bernama Abdul Abbas al-Mursi – anggota Tarekat Syadziliyah. Di bidang ilmu fiqih, Al Bushiri menganut mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab fiqih mayoritas di Mesir.

Di masa kecilnya, ia dididik oleh ayahnya sendiri dalam mempelajari Al Quran di samping berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Kemudian ia belajar kepada ulama-ulama di zamannya. Untuk memperdalam ilmu agama dan kesusateraan Arab ia pindah ke Kairo. Di sana ia menjadi seorang sastrawan dan penyair yang ulung. Kemahirannya di bidang sastra syair ini melebihi para penyair pada zamannya. Karya-karya kaligrafinya juga terkenal indah.Sebagian ahli sejarah menyatakan, bahwa ia mulanya bekerja sebagai penyalin naskah-naskah.

Louis Ma’luf juga menyatakan demikian di dalam Kamus Munjibnya.Sajak-sajak pujian untuk Nabi dalam kesusasteraan Arab dimasukkan ke dalam genre al-mada’ih an-nabawiyah, sedangkan dalam kesusasteraan-kesusasteraan Persia dan Urdu dikenal sebagai kesusasteraan na’tiyah (kata jamak dari na’t, yang berarti pujian). Sastrawan Mesir terkenal, Zaki Mubarok, telah menulis buku dengan uraian yang panjang lebar mengenai al-mada’ih an-nabawiyah. Menurutnya, syair semacam itu dikembangkan oleh para sufi sebagai cara untuk mengungkapkan perasaan religius yang Islami. Kasidah Burdah terdiri atas 160 bait (sajak), ditulis dengan gaya bahasa (usiub) yang menarik, lembut dan elegan, berisi panduan ringkas mengenai kehidupan Nabi Muhammad SAW, cinta kasih, pengendalian hawa nafsu, doa, pujian terhadap Al Quran, Isra’ Mi’raj, jihad dan tawasul.

Dengan memaparkan kehidupan Nabi secara puitis, AI-Bushiri bukan saja menanamkan kecintaan umat Islam kepada- Nabinya, tetapi juga mengajarkan sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai moral kepada kaum Muslimin. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika kasidah Burdah senantiasa dibacakan di pesantren-pesantren salaf, dan bahkan diajarkan pada tiap hari Kamis dan Jumat di Universitas AI-Azhar, Kairo.Al-Bushiri hidup pada suatu masa transisi perpindahan kekuasaan dinasti Ayyubiyah ke tangan dinasri Mamalik Bahriyah. Pergolakan politik terus berlangsung, akhlak masyarakat merosot, para pejabat pemerintahan mengejar kedudukan dan kemewahan. Maka munculnya kasidah Burdah itu merupakan reaksi terhadap situasi politik, sosial, dan kultural pada masa itu, agar mereka senantiasa mencontoh kehidupan Nabi yang bertungsi sebagai uswatun hasanah (suri tauladan yang baik), mengendalikan hawa nafsu, kembali kepada ajaran agama yang murni, Al Quran dan Hadis.

Ada sebab-sebab khusus dikarangnya Kasidah Burdah itu, yaitu ketika al-Bushiri menderita sakit lumpuh, sehingga ia tidak dapat bangun dari tempat tidurnya, maka dibuatnya syair-syair yang berisi pujian kepada Nabi, dengan maksud memohon syafa’afnya. Di dalam tidurnya, ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW. di mana Nabi mengusap wajah al-Bushiri, kemudian Nabi melepaskan jubahnya dan mengenakannya ke tubuh al-Bushiri, dan saat ia bangun dari mimpinya, seketika itu juga ia sembuh dari penyakitnya.

ajaran Imam al-Bushiri dalam Burdahnya yang terpenting adalah pujian kepada Nabi Muhammad SAW. la menggambarkan betapa Nabi diutus ke dunia untuk menjadi lampu yang menerangi dua alam : manusia dan Jin, pemimpin dua kaum : Arab dan bukan Arab. Beliau bagaikan permata yang tak ternilai, pribadi yang tertgosok oleh pengalaman kerohanian yang tinggi. Al-Bushiri melukiskan tentang sosok Nabi Muhammad seperti dalam bait 34-59 :

Muhammadun sayyidui kaunain wa tsaqaulai
Ni wal fariqain min urbln wa min ajami
Muhammad SAW adalah raja dua alam manusia dan jin
Pemimpin dua kaum Arab dan bukan Arab.

Pujian al-Bushiri pada Nabi tidak terbatas pada sifat dan kualitas pribadi, tetapi mengungkapkan kelebihan Nabi yang paling utama, yaitu mukjizat paling besar dalam bentuk Al Quran, mukjizat yang abadi. Al Quran adalah kitab yang tidak mengandung keraguan, pun tidak lapuk oleh perubahan zaman, apalagi ditafsirkan dan dipahami secara arif dengan berbekal pengetahuan dan makrifat. Hikmah dan kandungan Al Quran memiliki relevansi yang abadi sepanjang masa dan selalu memiliki konteks yang luas dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat temporal.

Kitab Al Quran selamanya hidup dalam ingatan dan jiwa umat Islam.Selain Kasidah Burdah, al-Bushiri juga menulis beberapa kasidah lain di antaranya a!-Qashidah al-Mudhariyah dan al-Qashldah al-Hamziyah. Sisi lain dari profil al-Bushiri ditandai oleh kehidupannya yang sufistik, tercermin dari kezuhudannya, tekun beribadah, tidak menyukai kemewahan dan kemegahan duniawi.Di kalangan para sufi, ia termasuk dalam deretan sufi-sufi besar. Sayyid Mahmud Faidh al-Manufi menulis di dalam bukunya, Jamharat al-Aulia. bahwa al-Bushiri tetap konsisten dalam hidupnya sebagai seorang sufi sampai akhir hayatnya. Makamnya yang terletak di Iskandaria, Mesir, sampai sekarang masih dijadikan tempat ziarah. Makam itu berdampingan dengan makam gurunya, Abu Abbas al-Mursi.

Sumber: Berbagai Media Dakwah

Al Maghfurlah Habib Hasan bin Abdullah bin Umar Asy Syathiri



Beliau adalah Syaikhuna, Murabbi Ruuhina, Al Imam, Al ‘Allaamah, Al Faqih, Al Waro’, Az Zaahid, Al Mursyid, Al ‘Arif billaah, Ad Daalu ‘alaihi, Ad Daa’i ilallah bihaalihi wa maqoolih, Al Qudwah, Shohibul Firosah Shodiqoh, Al Mukasyif bi nuurillah, Jammut Tawadhu’, Al Ab as Syafiq, Dzul Haibah fin Nufus, Shohib al ‘ain an Nadhirah salah seorang Ahlul bait nabi SAW, hal tersebut dapat dilihat dari nasab beliau yang tersambung hingga Rasulullah SAW.

Al Habib As Sayyid Hasan bin Al Imam Al ‘Allamah Syaikhul islam Al Habib Al Qutub Abdullah bin Umar bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Ali bin Husein bin Muhammad bin Ahmad bin Umar bin Alawy Asy Syathiri bin Al Faqih Ali bin Al Qhodi Ahmad bin Muhammad Asadullah fi ardih bin Hasan At Turobi bin Ali bin Al Ustadz Al A’zom Al Faqih Muqoddam Muhammad bin Ali bin Muhammad shohib Mirbath bin Ali Kholi’ qosam bin Alawy bin Muhammad maula as Som’ah bin Alawy maula Sumul bin Ubaidillah bin Al Muhajir ilallah Ahmad bin Isa Arrumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al ‘Uraidli bin Ja’far As Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Al Imam As Sajjaad Ali zainal Abidin bin Al Imam Husaein bin Al Imam Ali bin Abi Tholib Putra dari sayyidatina Fatimah Az Zahra putri Rasulullah SAW.
” Kalaulah bukan karena pendidik niscaya aku tak mengenal Tuhanku “
Al Habib Hasan dilahirkan dikota Tarim Hadromaut Yaman Selatan pada tanggal 7 Jumadi ts Tsaniah 1346 H. Beberapa saat setelah kelahirannya, ketika kakek beliau dari jalur ibunya Al Habib Abdurrahman bin Muhammad Al Haddad hendak memberinya nama beliau berkata ” Hasan memiliki sirr (rahasia keagungan) Syekh Abu Bakar As Sakran”.
Beliau tumbuh dan dibesarkan dikota Tarim, sejak kecil telah diasuh dan dibimbing oleh ayahnya dengan didikan islami di tempat yang lingkungannya sangat baik dan dikawasan pergaulan yang suasananya sangat kental dengan nuansa keilmuan yang penuh dengan keberkahan dizaman yang tampak jelas dinaungi oleh para sholihin dan ulama besar serta terkenal yang mahir dalam bidang ilmu sehingga pada umur yang masih cukup muda yaitu 11 th beliau telah menghapal al Quran seluruhnya, dan beliau banyak mempelajari aneka bidang ilmu seperti: Tafsir Al Quran, Hadits An Nabi SAW, Fiqh Syafi’i, Nahwu (Kaidah Bahasa Arab), Tasawwuf dan lain sebagainya.
Beliau ( Al Habib Hasan ) banyak menimba ilmu dari banyak guru (masyayikh) dizamannya, baik dikota Tarim ataupun yang lainnya dan kebanyakan dari guru-guru beliau adalah para murid utama ayahanda beliau yaitu Al Imam Al ‘Allamah Syaikhul islam Al Habib Al Qutub Abdullah Asy Syathiri yang merupakan salah seorang Syaikhul Ulama (gurunya para guru) dinegri Hadromaut pengasuh Rubat Tarim yang dengan keberkahan ilmunya telah mencetak lebih dari 13.000 ulama yang tersebar keseluruh penjuru dunia termasuk Indonesia.
Dan diantara guru – guru beliau ( Al Habib Hasan ) selain ayahandanya adalah :
Al Imam Al Arif billah Al Habib Al Muhab Al Qutub Alawy bin Abdillah bin Syahab
Al Imam Al Arif billah Al habib Al Qutub Ja’far bin Ahmad Al Idrus
Asy Syaikhul ‘Allaamah Mahfudz bin Utsman Az Zabidi
As Syaikhul ‘Allaamah Salim bin Sa’id Bukaiyir Baa Ghoitsan
Al Imam Al ‘Allamah Al Muhaddits Diyar Haromain As Sayid Alawy bin ‘Abbas Al Maliki Makki Al Hasani
Al Imam Al ‘Allamah Asy Syahid Al habib Muhammad bin Salim bin Hafiidz bin Syeikh Abu bakar bin Salim
Al Habib Al ‘Allamah Umar bin ‘Alawy Al kaaf
Asy Syeikh Umar bin ‘Awad Al Haddad
Dan masih banyak lagi guru – guru beliau dan para musnid dan mujiz yang memberikan berbagai macam sanad serta ijazah kepada beliau yang tidak kami sebutkan dalam biografi ( manaqib ) singkat ini.
Dalam asuhan dan didikan ayahandanya yang sangat disiplin, beliau acapkali diajak menghadiri majlis – majlis ilmu dan di setiap penghujung malam beliau diajak ayahandanya pergi ke masjid-masjid Tarim yang berjumlah kurang lebih 360 masjid guna melaksakan qiyam lail ( Sholat sunnah dimalam hari ), dan berziarah ke Zanbal makam Auliya’ dan ‘Inat makam Syeikh Abu Bakar bin Salim. Setiap kali berziarah kemakam Syekh Abu Bakar bin Salim Al Habib Abdullah bin Umar Asy Syathiri selalu berkata : ” Wahai Syeikh Abu Bakar, sungguh aku telah mendidik dan membimbing putramu Hasan bin Ismail, karena itu kumohon didik dan bimbinglah putraku Hasan”. Tatkala ajal ayahandanya Al Habib Abdullah bin Umar Asy Syathiri telah dekat dan usia beliau ( Al Habib Hasan ) kala itu sekitar 14 tahun, ayahandanya ( Al Habib Abdullah bin Umar Asy Syathiri ) mengumpulkan seluruh anggota keluarganya seraya berwasiat “Wahai Mahdi… aku serahkan padamu tanggung jawab kepemimpinan Rubath ini. Wahai Hasan… dan aku serahkan tanggung jawab kepemimpinan Rubath ini setelah kakakmu Mahdi dan jangan pernah kau tinggalkan Al Quran”.
Ayahandanya ( Al Habib Abdullah bin Umar Asy Syathiri ) wafat tatkata Al Habib Hasan sedang mempelajari Tafsir darinya, ketika itu beliau sampai pada tafsir ayat Al Quran
Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
Demikianlah isyarat kesempurnaan ilmu beliau yang tersirat lewat ayat tersebut, sebagaimana turunnya ayat ini sebagai tanda telah sempurnanya da’wah Rasulullah SAW pada Haji Wada’.
Kemudian beliau ( Al Habib Hasan Asy Syathiri ) berguru secara khusus kepada Al Imam Al Arif billah Al Habib Al Muhab Al Qutub Alawy bin Abdillah bin Syahab yang memiliki julukan ‘Ain Tarim ( Matanya kota Tarim) sosok berkarisma dan memiliki wibawa serta tegas dalam berkata. Sepenuh jiwa beliau serahkan dirinya kepada Al Habib Alawy guna dididik dan dibina, beliaupun menyambutnya dengan penuh perhatian dan pendidikan yang tiada henti, mengajarkannya cara melatih, mengembangkan dan mengolah jiwa serta bagaimana mematikan sisi buruk jiwa manusia, sehingga mencapai kedudukan Nafs Muthma-innah ( jiwa yang tenang ) guna menjalin keharmonisan dunia dan akhirat.
Beliau sangat menjaga adab ketika duduk dimajlis – majlis ilmu terkhusus dihadapan guru besar beliau Al Habib Alawy bin Abdillah bin Syahab,    tidaklah beliau pernah mengangkat kepala beliau, seakan – akan terdapat seekor burung diatas kepalanya, bahkan tidaklah pernah terdengar hembusan nafasnya, hal tersebutlah yang membuat Al habib Alawy bin Syahab begitu sayang terhadap beliau. Pernah satu ketika Al Habib Alawy memuji Beliau ( Al Habib Hasan AsySyathiri ) dengan mengatakan kepada rekan-rekannya :” Hasan bin Abdullah Asy Syathiri adalah putra ruhku”, dan ketika didepan Al Habib Alawy beliau kehabisan suara tatkala sedang membacakan qosidah, Al Habib Alawy berkata: ” Dia perlu diberi gula, tetapi gulanya harus langsung dari Al Faqih Muqoddam”.
Dan dengan perintah serta isyarat dari Al Habib Alawy lah beliau memimpin majlis- majlis ilmu yang dihadiri oleh para Mufti dan Ulama, pada ketika itu beliau masih berusia 17 tahun usia yang sangat muda untuk memimpin majlis yang dihadiri para mufti dan ulama. Dan sungguh merupakan anugrah yang Allah berikan kepada beliau, tatkala beberapa saat sebelum gurunya ( Al habib Alawy bin Abdillah bin Syahab ) wafat, Beliau ( Al Habib Hasan AsySyathiri ) ketika itu dalam keadaan tertidur sedangkan Al Habib Alawy berada dirumahnya . Dalam tidurnya Beliau ( Al Habib Hasan AsySyathiri ) bermimpi melihat Al Habib Alawy tengah duduk diatas pembaringannya, lalu Al Habib Alawy berkata: “Wahai Hasan…aku akan bangkit dari tempat ini, dan sekarang duduklah engkau ditempatku ini”.
Setelah itu Beliau ( Al Habib Hasan AsySyathiri ) terbangun dari tidurnya dan beliau mendengar berita duka wafatnya Al Habib Alawy bin Syahab, dan dari mimpinya tersebut beliau menyadari betul bahwa beliaulah khalifah (pengganti) pelanjut Al Habib Alawy dalam menjaga amanah peradaban kota Tarim. Hal tersebut beliau buktikan dengan tegasnya beliau dalam menentang masuknya paham – paham atau tradisi – tradisi baru yang merubah apa yang telah ditetapkan dan di lestarikan oleh para leluhurnya, dengan penuh wibawa dan ketawadluan beliau mengatakan : “Ini bukan kota ku, ini kota sayyid Faqih Muqoddam, kota para leluhurku, kita tidak berhak merubahnya, jika aku merusaknya dengan merubah tradisi mereka, maka sungguh aku malu berjumpa mereka ketika aku kembali nanti”.
Akhlak, suluk, ilmu dan amal beliau merupakan cermin Ulama salaf ( terdahulu yang berpegang kuat ajaran Rasulullah SAW ) yang terdapat dalam dirinya, membuahkan suri tauladan baik untuk para manusia yang ingin mengikuti jejak Rasulullah SAW. Itu semua terlukis dengan prilakunya dalam melaksanakan yang fardlu dan sunnah, beliau sangat tawadlu’ ( rendah hati ), welas asih terhadap semua makhluk, tidak senang dengan ketenaran ( popularitas ). Dalam mendidik dan mengajarpun beliau sangat berpegang teguh pada metode para salaf, memulai dengan yang dasar kemudian sedang lalu yang mendalam.
Pendidikan dan ajarannya bukan hanya lewat kata-kata yang beliau ucapkan, melainkan dengan perbuatannya yang sangat terpuji. Diantara akhlak beliau yang sangat welas asih adalah ketika di Rubath ada seorang pencuri yang tertangkap, lalu dipukuli hingga babak belur, saat beliau mendengar hal tersebut beliau pun datang ke Rubat yang saat itu para pelajar sedang menghadiri perkumpulan mingguan guna mendengar nasihat dan peraturan –peraturan yang berlaku di Rubat serta evaluasi – evaluasi pendidikan ilmiyah dan amaliyah yang telah berjalan.
Setelah bertanya siapa yang telah memukuli orang tersebut hingga babak belur dan beberapa orang mengaku mengajukan diri mereka beliaupun dengan wajah memerah, suara agak tinggi berkata :” Siapa kalian? Sehingga berhak memukuli orang ini hingga babak belur” diantara mereka ada yang menyahut ” Dia telah mencuri ya Habiib” Beliaupun berkata “Lantas apa dia patut untuk dipukul? Apa dia budak sahayamu? Bukan begitu memperlakukan yang salah wahai anak-anakku”. Beliau sangat menginginkan kebahagiaan dan kebaikan pada setiap orang terkhusus anak-anak didiknya dan sangat tidak menginginkan keburukan terjadi atau ada pada diri mereka, sehingga tak pernah bosan beliau memberikan peringatan dan semangat lewat nasehat-nasehatnya yang sangat menyentuh qalbu.
Diantaranya beliau mengatakan ” Wahai anakku, makanlah dari hasil usahamu dan jangan kau makan dengan menjual agamamu”, dan ketika salah seorang pelajar yang hendak pulang ke Indonesia meminta wasiat darinya, beliaupun berkata “Perbanyaklah engkau bersujud dan mintalah ikhlas kepada Allah SWT, dan pendamlah dirimu ditempat yang orang tak mengenalmu”. Beliaupun selalu mengatakan ” Janganlah kalian menjadi orang yang banyak disanjung namun engkau memiliki cela yang terselubung”
“Jadikanlah adabmu seperti tepung dan ilmumu laksana garam” “Cinta tak butuh dekatnya jarak namun dekat membutuhkan cinta” “Yaa Ikhwaanii..Wahai saudara-saudaraku.. cukuplah bagi kalian mengamalkan apa yang terdapat didalam kitab Bidayatul Hidayah Milik Al Imam Al Ghozali” “Janganlah kalian sedih dengan mimpi-mimpi buruk yang padahal kalian telah banyak berbuat keta’atan, karena hal tersebut merupakan pendidikan untuk jiwamu, mimpi-mimpi indah tak berarti apa-apa bila seseorang tersebut terlena oleh mimpi dan terus tenggelam dalam ma’siat” “Penuhilah hak-hak orang, dan janganlah kau menuntut hakmu dari mereka, bantulah orang yang meminta bantuan padamu semampumu” ” Kesolehan seseorang tidaklah dilihat dari imamah ( ikat kepala ) yang besaratau sorban yang lebar dan bukan pula kepandaian berbicara diatas mimbar”.
Begitu banyak mutiara nasehatnya yang diberikan secara tulus kepada para santri dan orang yang meminta wasiat ataupun nasehat kepada beliau.
Dikisahkan bahwa ketika tubuh beliau terasa sakit, murid tersayangnya pun pergi dan membawa seseorang guna memijat tubuh beliau, ketika pemuda tersebut memegang kaki beliau, beliaupun bertanya” Siapa namamu? Dari mana asalmu? Dan sudah berapa lama engkau bekerja sebagai tukang pijat di Tarim?” Pemuda itupun menjawab bahwa ia berasal dari Indonesia dan saat ini menetap di Tarim sebagai seorang pelajar. Beliaupun terkejut lalu menegur murid beliau dengan keras seraya berkata “Menyuruh seorang penuntut ilmu yang datang dari jauh untuk memijat adalah sesuatu yang terlarang, itu merupakan pemerkosaan hak yang dosanya amat besar.. Jangan pernah engkau mengulanginya lagi”.
Tatkala beliau mendapat banyak sanjungan dan pujian beliaupun dengan penuh ketawadlu’an ( rendah hati ) berkata “Saya senang tapi saya tidak pernah terlena dengan pujian itu”, beliaupun menegaskan dalam bait-bait qasidah yang beliau buat sendiri dengan ungkapan sebagai berikut “Kalian telah memuliakanku dengan sesuatu yang tidak pernah kuperkirakan, sedang pemilik kemurahan (Allah SWT) selalu memberi melebihi apa yang diperkirakan”
“Ini adalah anugerah yang kuperoleh tanpa bersusah payah untuk mencarinya, itu semata-mata murni karuniaYang Maha Kuasa”.
“Umurku semua habis dalam kesia-siaan yang tidak berguna, begitulah keadaanku seterusnya wahai keluargaku”
“Inilah kebanggaanku, bukan dengan keagungan dan kekayaan. Adapun kekayaan dunia cukup hanya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari”.
Adapun keistimewaan-keistimewaan yang Allah berikan kepada beliau berupa karomah amatlah banyak, diantaranya adalah firasat beliau yang sangat tajam, dimana ketika beliau usai mengadakan pengajian sore dimasjid Babtinah yang terletak berdampingan dengan Rubath, seorang santri yang bersalaman dan mencium tangan beliau, beliaupun memegang tangan pemuda tersebut seraya bertanya “Engkau dari mana?” pemuda tersebut menjawab “dari tempat renang ya Habiib” Habib pun bertanya “Engkau merokok?” pemuda itupun menjawab dengan berbohong “tidak ya habiib, saya tidak merokok” dengan tersenyum beliau berkata “Jangan engkau takut kepadaku wahai saudaraku,takutlah engkau pada Allah” sambil malu malu pemuda itu hanya bisa berkata ” Iya Habib Iya”.
Inilah sekelumit keluhuran budi akhlak, pendidikan dan ajaran serta perjalanan hidup beliau.
Dan beliaupun wafat pada hari Jum’at tepat ketika adzan Jum’at berkumandang tanggal 11 Rabi’ul Awwal 1425H, bertepatan dengan dengan tanggal 30 April 2004M di kota Abu Dhobi Uni Emirat Arab, dan dikebumikan di Zanbal Tarim bersama para leluhurnya.
Demikianlah manaqib singkat ini Al Faqir buat dan bacakan pada saat ini, semoga Allah merahmati kita semua Bijahi hadza nnabi wa bibarkati hadzal wali.

Al Habib Abdul Qadir bin Alwy Assegaf


Angin Segar dari Kota Tuban
Auliya’ ini dikenal banyak membawa angin segar bagi umat, terutama di kota Tuban dan sekitarnya. Para auliya’ di jamannya banyak memuji dan mengagungkan beliau
makam habub abdulqadir 300x200 Al Habib Abdul Qadir bin Alwy Assegaf Sosok Habib Abdul Qadir dalam kesehariannya dikenal sebagai pribadi yang ramah tamah, murah senyum dan dermawan. Semua orang yang mengenalnya, pasti akan mencintainya. Tidak heran bila para auliya’ di jamannya banyak memuji dan mengagungkan beliau. Salah satunya, Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, beliau selalu mengunjungi semasa hidup mau pun sesudah wafatnya. Wali Kramat dari Empang, Bogor itu bersyair dengan pujian,”Telah bertiup angin segar dari Kota Tuban….” Auliya lain yang sering mengunjunginya adalah Habib Ahmad bin Abdullah Alattas, Pekalongan dan Habib Abdul Qadir bin Quthban.
Habib Abdul Qadir bin Alwy As-Segaf dilahirkan di Seiwun pada tahun 1241 H. Sejak kecil ia telah dididik secara khusus oleh paman beliau, Habib Abdurrahman bin Ali Assegaf. Oleh sang paman, Habib Abdul Qadir selalu diajak berziarah ke tempat-tempat yang jauh dari tempat tinggalnya di Seiwun. Dalam berziarah ke tempat para auliya’, ia pun pernah menyaksikan kejadian yang menakjubkan hatinya, yakni saat berziarah ke makam Syaikh Umar Ba Makhramah. Dimana, Habib Abdurrahman ketika di dalam kubah makam Syaikh Umar Ba Makhramah, tiba-tiba Syaikh Umar bangun dari kuburnya dan bercakap-cakap dengan Habib Umar. Habib Abdul Qadir menyaksikan kejadian itu secara yaqadzah (terjaga, bukan melalui mimpi).
Habib Abdul Qadir dikenal sejak usia remaja berteman akrab dengan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Sahibul Maulid Simthud Durar) dan Habib Abdullah bin Ali Al-Hadad (Sahibur Ratib Hadad). Bahkan di akhir umur Habib Abdullah Al-Hadad pernah berkirim surat kepada Habib Abdul Qadir yang diantaranya berisi,”Sesungguhnya jiwa-jiwa itu saling terpaut.” Tidak lama setelah itu Habib Abdullah bin Ali Al-Hadad wafat, 27 hari kemudian Habib Abdul Qadir juga wafat. Beliau juga mempunyai hubungan yang istimewa dengan Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya) dan Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdar (Bondowoso).
Kedekatan hubungan Habib Abdul Qadir dengan Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi tidak lepas dari kejadian menimpa Habib Muhammad yang sering kali tidak bisa menguasai diri ketika kedatangan hal (keadaan luar biasa yang meliputi seseorang yang datang dari Allah SWT). Dalam keadaan seperti itu Habib Muhammad tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya.
Suatu saat Habib Muhammad kedatangan hal ketika sedang berjalan, kebetulan saat itu Habib Abdul Qadir sedang berada di dekatnya. Melihat keadaan Habib Muhammad yang hampir tidak sadarkan diri, Habib Abdul Qadir segera menyadarkannya, sehingga Habib Muhammad pun sadar dan melihat Habib Abdul Qadir telah berada di depannya. Mereka berdua akhirnya berpelukan,”Ini adalah sebaik-baik obat,”kata Habib Muhammad dengan raut wajah yang gembira. Sejak itulah, hubungan Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi dan Habib Abdul Qadir semakin erat dan saking dekatnya, Habib Muhammad menyatakan bahwa menceritakan tentang keadaaan Habib Abdul Qadir lebih manis dari madu. Kecintaan itu juga oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi diungkapkan dalam syair:
Wahai malam yang penuh cahaya
Semua permintaan telah terkabul
Hari ini aku datang ke Tuban di awal bulan
Putra Alwi yang kucintai
Kelezatannya tiada bandingan
Dia lah pintu masuk dan pintu keluar kita
Obat bagi yang kena segala penyakit
Dari hatinya memancar rahasia sempurna
Semoga dengan berkahnya, dosa dan salah kita diampuni

Pernah suatu ketika Habib Abdul Qadir dalam perjalanan pulang dari haji bersama rombongan dengan mempergunakan perahu. Ternyata perahu yang dinaikinya berlubang, air pun masuk menerobos dengan deras ke dalam perahu. Orang-orang panik dan segera mengurasnya. Tapi, air yang masuk bukan semakin habis, malah semakin banyak dan memenuhi seluruh perahu hingga hampir tenggelam. Keringat dan air laut berpadu membasahi pakaian yang dikenakan mereka yang tengah berusaha dengan keras menguras air dalam perahu. Para penumpang menangis karena putus asa.
Melihat hal itu Habib Abdul Qadir segera masuk ke dalam bagasi kapal beserta dua isterinya. Setelah menutup pintu beliau berdoa sambil mengangkat tangannya memohon kepada Allah. Tiba-tiba datanglah empat orang lelaki yang telah berdiri di hadapannya, kemudian salah satunya menepuk punggungnya.”Hai Abdul Qadir! Aku Umar Muhadar,”katanya sambil memperkenalkan tiga orang yang ada disebelahnya,”Ini kakekmu, Alwi bin Ali bin Al-Faqih Al-Muqaddam. Itu kakekmu, Abdurrahman Assegaf dan yang itu Syaikh Abu Bakar bin Salim.”
Setelah itu lelaki tersebut menyuruh Habib Abdul Qadir menguras air dan keempat lelaki asing itu pun lalu menghilang.“Apakah kalian melihat empat orang tadi?” tanya Habib Abdul Qadir kepada kedua isterinya.“Tidak,” jawab mereka.
Habib Abdul Qadir segera keluar dan menyuruh para penumpang untuk menguras kembali air laut yang masuk ke dalam perahu. Tak berapa lama kemudian, perahu besar itu sudah tidak berisi air lagi. Ternyata lubang tadi telah lenyap, papan-papannya tertutup rapat seakan tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Dikisahkan pula, suatu malam Habib Abdul Qadir bermimpi, dalam mimpinya ia bertemu Nabi SAW tengah menuntun Habib Hasan bin Soleh Al-Bahr. Lalu Nabi SAW menyuruhnya membaca Doa Khidir AS sebanyak 50 kali setiap pagi dan sore. Habib Abdul Qadir merasa bilangan itu terlalu banyak. Ia ingin agar Habib Hasan memintakan keringanan untuknya, belum sempat diutarakan, Nabi SAW bersabda,”Bacalah sebanyak lima kali saja, tetapi pahalanya tetap 50.” Gambaran ini persis seperti lafadz barjanji ketika mengisahkan Isra’ Mi’raj. Seketika itu, Habib Abdul Qadir terjaga dari tidurnya dan membaca doa Nabi Khidir dari awal sampai akhir, padahal dia belum pernah tahu doa tersebut sebelumnya.
Ia lalu mencari teks doa itu dan menemukannya di kitab Maslakul Qarib, tetapi di sana ada tambahan dan pengurangan. Sampai akhirnya ia menemukan teks yang sama persis di kitab Ihya’ juz 4 dalam bab Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Imam Ghozali menyebutkan faedah dan pahala yang sangat banyak dalam doa ini. Jelaslah bahwa itu termasuk salah satu karamah Habib Abdul Qadir, sebab ia hafal doa yang cukup panjang hanya dengan dituntun Nabi Muhammad SAW. Dalam khasanah dunia pesantren, cara menghafal demikian disebut ilmu paled! atau apal pisan langsung wuled(sekali dengar langsung hafal).
Ketika ia sakit di akhir umurnya, salah seorang putranya yang bernama Umar mengusahakan kesembuhan dengan cara bersedekah atau yang lainnya. Ketika Habib Abdul Qadir tahu, ia langsung berkata,”Jangan merepotkan diri, karena Malaikat Maut sudah dua atau tiga kali mendatangiku.”
Dalam sakit itu pula ia sering menyambut kedatangan ahlil ghaib di tengah malam dan berbincang-bincang dengan mereka. Kejadian tersebut berlangsung hampir setiap malam, sampai suatu saat ditemukan secarik kertas di dekatnya yang bertuliskan syair,”Telah datang pada kami, Shohibul Waqt, Khidir dan Ilyas. Mereka memberiku kabar gembira seraya berkata,’Kau dapatkan hadiah serta pakaian. Jangan takut! Jangan khawatir dengan kejahatan orang yang dengki, serta syaitan’.”
Tidak lama setelah itu, ia meninggalkan alam yang fana ini tepatnya pada tanggal 13 Rabiul Awal 1331 H (1912 M). Jasadnya yang suci kemudian dimakamkan di pemakaman Bejagung, Tuban. Haul Habib Abdul Qadir biasanya diperingati pada bulan Sya’ban di Jl Pemuda, Tuban.
Dok. Cahaya Nabawiy

Al Habib Abdullah bin Ali Alhaddad


Al Habib Abdullah bin Ali Alhaddad
Beliau dilahirkan di kota Hawi, Tarim, pada tanggal 2 Shafar 1261 H. Semenjak kecil beliau mendapatkan pendidikan langsung dari kedua orangtuanya. Hal itu memang sudah menjadi suatu ciri para ulama salaf Bani Alawi, yang kebanyakan dari mereka semenjak kecil didikan langsung oleh orangtua-orangtuanya.
Menginjak usia dewasa, beliau berguru kepada para ulama besar yang ada di kota Tarim. Di antara guru-guru beliau adalah :
Al-Habib Hamid bin Umar Bafaraj
Al-Habib Umar bin Hasan Alhaddad
Al-Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfagih
Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur (mufti Tarim saat itu)
Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi (pengarang kitab Iqdul Yawaaqit)
Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf
Al-Habib Muhammad bin Syaikh Jamalul Lail
Tidak hanya itu saja, beliau juga melakukan perjalanan jauh untuk menuntut ilmu yang bermanfaat kepada para ulama di daerah-daerah lain. Beliau mengambil ilmu dari guru-guru besar beliau, diantaranya:
Asy-Syaikh Sa’id bin Isa Al-Amudi (Damun)
Al-Habib Thahir bin Umar Alhaddad (Damun)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Basaudan (Geidun)
Al-Habib Ahmad bin Muhammad Almuhdhor (Huwaireh)
Pada tahun 1295 H, berangkatlah beliau menuju ke tanah Haram untuk menunaikan ibadah haji. Di kota Makkah, beliau tinggal di kediaman Al-Habib Muhammad bin Husin Alhabsyi yang berada di daerah Jarwal. Disana keduanya saling mengisi dengan membaca bersama-sama kitab-kitab agama. Pada saat di kota Madinah, beliau bertemu dengan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Mukti bin Muhammad Al-Azab, seorang fagih dan pakar bahasa dan kesustraan arab, serta pengarang kitab maulud Al-Azab. Disana juga keduanya saling mengisi dengan saling memberikan ijazah.
Pada tahun 1297 H, beliau melakukan hijrah dalam rangka berdakwah ke negeri Melayu. Tempat awal yang beliau tuju adalah Singapura, kemudian beliau menuju ke Johor. Di Johor ini beliau tinggal selama 4 tahun. Setelah itu beliau meneruskan perjalanan dakwahnya ke pulau Jawa. Sampailah beliau di daerah Betawi. Beliau lalu meneruskan perjalanan ke kota Bogor, Solo dan Surabaya. Beliau tidak tertarik tinggal di kota-kota tersebut, walaupun diajak penduduk setempat untuk menetap di kotanya.
maqam habib abdullah bin ali al haddad2 Al Habib Abdullah bin Ali Alhaddad Sampai akhirnya pada tahun 1301 H, tepatnya akhir Syawal, beliau tiba di kota Bangil. Disanalah beliau menemukan tempat yang cocok untuk menetap dan berdakwah. Mulailah beliau membuka majlis taklim dan rauhah di kediaman beliau di kota Bangil. Beliau juga mengembangkan dakwah Islamiyyah di daerah-daerah lain di sekitar kota Bangil. Disana juga beliau mengamalkan ilmunya dengan mengajar kepada murid-murid beliau. Keberadaan beliau di kota Bangil banyak membawa kemanfaatan bagi masyarakat di kota tersebut. Tidak jarang pula, masyarakat dari luar kota datang ke kota itu dengan tujuan untuk mengambil manfaat dari beliau.
Beliau adalah seorang yang sangat pemurah dan sangat memperhatikan para fakir miskin. Beliau adalah seorang yang tidak suka dengan atribut kemasyhuran. Beliau tidak suka difoto atau dilukis. Beberapa kali dicoba untuk difoto tanpa sepengetahuan beliau, tetapi foto tersebut tidak jadi atau rusak. Beliau adalah seorang yang mempunyai sifat tawadhu. Beliau selalu menekankan kepada para muridnya untuk tidak takabur, sombong dan riya. Dakwah yang beliau jalankan adalah semata-mata hanya mengharapkan keridhaan Allah Azza wa Jalla. Dan inilah bendera dakwah beliau yang tidak lain itu semua mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh para pendahulunya.
Hari demi hari beliau jalani dengan mengemban tugas dakwah, suatu aktivitas yang dapat menggembirakan hati Rasulullah SAW dan datuk-datuknya RA, suatu aktivitas yang membawa umat dari kegelapan menuju cahaya iman. Itulah aktivitas beliau sehari-hari. Sampai pada waktunya, beliau dipanggil oleh Sang Pencipta. Beliau wafat pada hari Jum’at, 15 Shofar 1331 H, sesudah melaksanakan shalat Ashar. Berpulanglah beliau kepada Rabbul Alamin dengan amal baik beliau yang beliau tanam semasa hidupnya…berpulang dalam keridhaan-Nya…berpulang dalam naungan-Nya.
Radhiyallohu anhu wa ardhah…
[Disarikan dari Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, M. Syamsu Ass. dan dari berbagai sumber lainnya]